Drama Thalabun Nushrah PKI

oleh -11 Dilihat

Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat

Tragedi Gerakan 30 September 1965 (G30S) merupakan salah satu titik balik dalam sejarah politik Indonesia.

Kudeta berdarah yang dilakukan oleh satu grup yang berada di bawah kendali Partai Komunis Indonesia (PKI) gagal total dalam merebut kekuasaan dan memperoleh legitimasi politik. Kegagalan ini bukan semata karena lemahnya strategi politik, tetapi karena absennya dukungan sah dari kekuatan politik yang berwenang, yang dalam teori politik Hizbut Tahrir dikenal sebagai nushrah.

Sebelum peristiwa G30S meletus, PKI telah menciptakan suasana masyarakat dengan suasana yang dalam istilah Hizbut Tahrir disebut sebagai suasana nushrah, yakni opini publik yang mendukung terhadap manuver politik mereka.

PKI menguasai media massa seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, menyebarkan propaganda marxisme, komunisme, anti-kolonialisme Barat, dan glorifikasi perjuangan kelas. Melalui LEKRA, mereka menggerakkan seniman untuk menciptakan karya yang berpihak pada revolusi, menjadikan seni sebagai alat agitasi ideologis.

Namun, agitasi ideologis saja tidak cukup. Ketegangan politik memuncak di tengah krisis ekonomi dan inflasi yang meroket. Dalam situasi genting ini, PKI melancarkan Gerakan 30 September dengan menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi Angkatan Darat.

Mereka berharap tindakan ini akan membuka jalan menuju kekuasaan. Tetapi mereka gagal menguasai pusat pemerintahan dan, yang paling fatal, tidak memperoleh nushrah (pertolongan dan dukungan) dari Presiden Soekarno.

Upaya PKI meminta nushrah kepada Soekarno merupakan bentuk thalabun nushrah atau permohonan legitimasi dari penguasa. Thalabun nushrah PKI gagal karena Soekarno tidak memberikan dukungan eksplisit, bahkan menunjukkan sikap penolakan terhadap aksi tersebut.

Tidak ada struktur internal yang siap menopang transisi kekuasaan, dan tidak ada dukungan rakyat yang luas buah kegagalan PKI dalam menciptakan suasana nushrah.

Permintaan dukungan kepada Soekarno dilakukan dalam kondisi terdesak, tanpa fondasi yang kokoh. PKI menggunakan thalabun nushrah sebagai manuver penyelamatan.

Pelajaran penting dari drama politik ini adalah bahwa kekuasaan tanpa legitimasi adalah rapuh. Kudeta berdarah yang tidak disertai dukungan struktural dan ideologis akan runtuh secepat ia dimulai.

Sejarah G30S mengajarkan bahwa perubahan sistem tidak bisa dipaksakan melalui konspirasi dan kekerasan. Ia harus dibangun di atas fondasi legitimasi, dukungan rakyat, dan struktur kekuasaan yang sah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.